Kamis, 15 September 2011

Anak'nya' Pemulung

Pagi ini terasa sangat aneh bagi pemalas sepertiku. Subuh yang dingin dan basah ini aku sudah wangi dan rapi. Sambil menunggu mie instan buatanku matang, ku kemasi barang-barangku, apa saja yang mungkin nanti ku butuhkan. Dompet, HP, iPod, buku, pena. Itu sudah cukup.

 "Elra.... " Seseorang muncul dari balik tirai dapur menyebut namaku. Aku hanya tersenyum dan kembali konsentrasi dengan semangkuk mie instan di hadapanku.
"Ini bener kamu?" tanya Mama sekali lagi sambil mengucek matanya. Aku mengangguk, masih mengunyah mie di mulutku. Mama duduk di kursi tepat di sampingku. 

"Wangi....," celetuknya. Aku meringis, memperlihatkan deretan gigi putihku. Jelas Mama takjub melihat anak gadisnya subuh-subuh sudah rapi. Tidak seperti biasa.
"Elra mau ke Jogja Ma... Biasa.... "
"Pagi-pagi begini? Ayam tetangga aja belum bangun El."
"Biar gak ada sepeserpun rejeki Elra yang mereka patuk," bisikku di telinga Mama, kemudian berlalu setelah mencium tangan dan pipi kanannya.

Ku langkahkan kakiku dengan pasti, membiarkannya mencari celah diantara tanah basah akibat sisa hujan semalam. Lagu Buka Semangat Baru nya Ello mengiringi setiap langkah kakiku. Aku begitu bergairah pagi ini. Kenapa? Karena hari ini bisa ke Jogja? Ah... aku sudah melakukannya berkali-kali. Atau karena bisa bangun lebih awal dari Si Jantan? Tidak juga... Sebelum tidur kan, aku memang sudah pasang alarm di wekerku. Lalu? Entahlah. 

Sang surya mulai menyebar kehangatan sesampaiku di Terminal Bus Tidar Kota Magelang. Ku lirik jam di pergelangan tanganku. Waktu menunjukkan pukul 07.00. Masih terlalu dini untuk mulai perjalanan. Ku sempatkan mampir di warung Bu Endah di seberang terminal dan memesan segelas susu putih kesukaanku. Benar-benar pagi yang cerah, batinku.

"Mau kemana Dek?" tanya seorang laki-laki paruh baya yang tak ku sadari kedatangannya. Dia duduk di sebelahku. 

"Jogja Pak... ," aku menoleh dan menatapnya. Laki-laki itu kemudian mengambil sesuatu di saku celananya. Sebatang rokok. Mungkin Bapak ini kernek atau sopir barang kali.

"Bapak sendiri mau kemana?" 
"Mengikuti kemana pun kaki melangkah," jawabnya sambil mengisap rokok di tangannya. Aku menggeser kursiku, sedikit mendekati Bapak ini. Dari jawabannya barusan, aku punya pikiran, bisa jadi Bapak ini sama sepertiku. Ada setidaknya setetes darah seni yang mengalir di nadinya. Sebagai penggila imajinasi sekaligus terobsesi penulis aku tertarik padanya, ingin terlibat perbincangan yang lebih jauh. Kalaupun dugaanku salah, setidaknya aku punya teman ngobrol sampai segelas susuku habis.

 "Bapak kernek atau sopir?" tanyaku.
"Menjadi sopir membutuhkan keahlian khusus dan aku tidak memilikinya"
"Kernek?!" 
"Suaraku terlalu merdu untuk menjadi seorang kernek." Bapak ini membuatku semakin ingin tahu. Rasa penasaran terus memburuku. 
"Dan, saya tidak percaya jika Bapak adalah seorang penyanyi."
"Pengamen tepatnya." Aku hanya mengangguk mendengar jawabannya. Kalau dilihat dari kulit dan body nya, dia seumuran Ayahku. Kalaupun beda, mungkin hanya 1 atau 2 tahun. Tidak jauh dari angka 45.

"Bisakah Bapak nyanyikan sebait lagu untukku?"
Laki-laki itu menatapku, tersenyum, "Dengan senang hati." Mulutnya mulai menyanyikan sebuah lagu yang tak asing lagi bagiku. Lagu yang mengingatkanku pada laki-laki bijak yang ku panggil Ayah. Ya, ini lagu favorit Ayahku. Ku ambil selembar kertas lima ribuan ketika ia selesai menyanyikan lagu. Tapi ia menolak ketika aku memberikannya.
"Anggap ini sebagai salam pertemuan kita." Apa-apaan ini? gumamku. Jarang-jarang ada penumpang bus memberikan uang lima ribu untuk sebait lagu. Umumnya lima ratus rupiah, kalau beruntung paling juga seribu. Ini lima ribu, dan dia menolaknya?! Bodoh sekali.

"Adek ada perlu apa ke Jogja. Kuliah atau kerja?"
"Saya mempunyai butik disana. Seminggu sekali saya kesana untuk mengeceknya," jawabku. Laki-laki yang sejak sekitar 15 menit yang lalu menemaniku itu memicingkan mata. Kenapa?
"Berapa usiamu?"
"Mungkin setengah dari usia Bapak." Aku pun ingin tahu sudah berapa lama ia menikmati hidupnya. 
"23 ?" Benar perhitungaku, mataku selalu sinkron dengan otakku. Usianya tidak jauh dari 45. Hehe
"20."
"Hebat!! Di usia yang masih rentan dengan perkembangan jaman ini kamu sudah memiliki butik." Dia menggelengkan kepala, entah heran atau tidak percaya dengan pernyataanku tadi. 
"Selalu ada jalan di setiap kemauan. Usaha, kuncinya," kataku sedikit menggurui. 
"Tidak seperti anakku." Laki-laki itu menundukkan kepalanya. 
"Kenapa?" tanyaku ingin tahu. Saat ini jarum panjang jam di tanganku sudah menunjuk angka tujuh, sementara yang satunya sudah melewati angka itu, mendekati angka 9. Delapan kurang seperempat.

"Dia tak seberuntung kamu," lirih ku dengar kalimat itu.
"Bukankah setiap manusia mempunyai jalan yang berbeda-beda?"
"Kamu tidak mengerti."
"Bapak tidak pernah menceritakannya," kejarku. 
"Tak ada yang patut ku banggakan dari keluargaku." Dibuangnya puntung rokok yang sejak tadi sudah habis. Pandangannya kosong, menerawang ke jalan yang sudah ramai lalu lalang kendaraan bermotor.
Kali ini aku pun diam, membiarkan pertanyaan-pertanyaan dari setiap pernyataannya menggelantung di otakku. Dia berdiri dari duduknya, menatapku, diseretnya kursi kayu di sebelah kursi panjang ia duduk tadi. Kami berhadap-hadapan. Aku sedikit gugup. Aku masih bisu, sampai akhirnya ia kembali bercerita, "Anakku masih kecil, umurnya 7 tahun lebih muda darimu. Dia seharusnya duduk di bangku SMP tahun ini."
"Seharusnya?" Aku tidak mengerti. 
"Dia mengerti, bapaknya yang payah ini tidak mampu membiayai sekolahnya. Jangankan untuk 3 tahun sampai ia lulus, untuk membayar seragampun aku tidak bisa." 
"Anda sama sekali tidak berusaha untuk masa depannya?" 
"Uang mengamenku setiap harinya hanya cukup untuk makan. Kalaupun ada sisa, aku menukarnya dengan rokok."
"Istri bapak?" tanyaku hati-hati. 
"Kami pisah sejak Maya, anakku kelas 3. Dan mungkin salahku membiarkannya mengikuti cara hidupku yang tak tentu arah ini." Air mukanya mulai berubah. Mungkin salahku.... Tidak! Aku tidak pernah memintanya untuk ceritakan apapun. Ini kemauan dia. 

Ku hirup dalam-dalam udara yang sudah mengandung polusi ini. "Lalu apa yang Maya kerjakan ketika bapak pergi?"
"Dia mengumpulkan botol minuman, seng, atau apapun yang bisa dijual di tempat rongsokan."

Wow!!! Anaknya pemulung?! Ku ambil gelas yang isinya tinggal setengah. Sudah dingin, tapi ku paksakan air bergizi itu masuk ke dalam perutku hingga tak tersisa. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokanku. Laki-laki itu hanya memandangi tingkahku.
"Bapak membiarkan Maya berteman dengan sampah? Kuman, bakteri... Itu semua penyakit," kalimat itu keluar tiba-tiba dari mulutku, aku tahu dia pasti menyangkalnya mungkin juga tersinggung tapi aku pun tak mampu menghentikannya. Aku tak peduli.  
"Tapi tidak bagi orang seperti kami." 
"Seperti bapak." 
Matanya gesit menangkap sepasang bola mataku. Pandangan kami saling beradu. Bu Endah yang sejak tadi sibuk dengan dagangannya hanya melongo melihat pemandangan di depannya. Beberapa orang yang sedang menunggu bus di depan warung pun menyaksikan kami. 

"Aku tak punya apa-apa selain suara yang bisa aku tukar dengan rupiah. Ini jalan keluar yang mudah," katanya melakukan pembelaan terhadap dirinya, keadaannya. 
"Ada tumpukan otot di kedua lengan bapak. Itu energi, itu kelebihan. Tidak sadarkah?"
"Tapi aku lebih menikmati ini (mengamen)."
"Adakah secuil nikmat yang bapak beri dan ia rasakan? Setiap hari bapak sibuk dengan bus-bus kota dan Maya sibuk dengan karung berisi sampah di bahunya. Bapak tidak malu? Ada yang harus diperjuangkan dalam hidup, jangan hanya memburu nikmat." 
"Tapi bisa apa aku?" laki-laki yang entah siapa namanya itu terus membenarkan dirinya. 
"Berusaha. Maya harapan bapak. Sekarang bapak bisa memperjuangkannya, biar berat beban yang bertengger di pundak bapak, tapi begitulah seharusnya seorang ayah. Toh pada akhirnya, bapak juga akan menikmati hasilnya." 

Ya Tuhan... Maafkan aku. Mungkin salah aku mencampuri urusan orang lain. Tapi.... Aku rasa siapapun akan melakukan hal yang sama. Mungkin aku bisa maklum jika Si Bapak ini sudah lanjut usia, tapi ini dia masih segar, masih bersemangat. Lagi-lagi soal pola pikir dan lingkungan. Di masa pertumbuhannya Maya justru harus bekerja keras, mengais barang bekas atau apapun di tumpukan sampah. 
"Biarkan ia menikmati masanya, tumbuh alami bersama dunianya. Dunia bagaimana ia seharusnya," kataku  akhirnya. 
Si Bapak ini tetap diam, sesuatu sedang bergejolak di dalam hatinya. 
"Ajak dia datang ke rumahku. Mungkin kami bisa membantu," aku mengulurkan kertas putih kartu nama Ayah dan selembar lagi berwarna merah jambu punyaku. 

Dia masih terpaku saat sebuah bus jurusan Jogja berhenti di depan warung Bu Endah. 
"Bapak marah. Bapak tersinggung?" tanyaku.
"Aku sedang mencerna apa yang kamu katakan." Aku melihat senyumnya mengembang, menghiasi wajahnya yang hitam legam. 
"Maaf saya lancang, bukan maksud saya menggurui Bapak... "
"Saya mengerti. Terima kasih banyak. Mudah-mudahan ini bisa mengubah hidupku, juga Maya."
Terus terang aku lega. Jujur aku takut dia berontak.
"Mari pak, bus sudah datang," ajakku. 
"Dek Elra duluan," jawabnya sambil mengeja namaku di kartu nama. 
"Bapak juga mau ke Jogja kan?" 
"Awalnya... Tapi ku putuskan untuk pulang, mencari Maya. Dia pasti senang mendengarnya." Aku hanya tersenyum.
 "Kami pasti datang."

Ku anggukkan kepalaku, dan perlahan-lahan bus bergerak meninggalkan terminal. Dan Bapak itu menghilang, pulang. Aku tak tahu.... banyak yang berkecamuk di benakku. 

Beginilah hidup.... Selalu ada tetesan keringat untuk sesuatu yang kita inginkan. Tidak mungkin ia datang dengan sendirinya....



Tidak ada komentar: