Sabtu, 17 September 2011

Helm (untuk) Mini

"Ini serius!!" Sekali lagi aku meyakinkan Mas dan Ibu ku.

Tentang mimpiku semalam, ini bukan yang pertama kali. Kalau tidak salah, ini sudah yang keempat kalinya. Tapi tak seorang pun menggubrisnya. Ibu ku, Mas ku, tidak ada yang menanggapinya. Andai saja mimpi itu berulang kali datang ke dalam tidur mereka, mungkin mereka juga akan merasakan hal yang sama. Sebuah ketakutan hebat yang aku sendiri tak tahu kapan akan berakhir.

"Itu cuma bunga tidur. Mimpi aja dipikir, cepet tua kamu. Mending bantu Ibu beresin baju adekmu," kata Ibu yang tengah asyik dengan baju yang menggunung di hadapannya.

"Mbah bilang, kalau mimpi lebih dari tiga kali bisa jadi kenyataan bu... " kataku ngeyel.
"Kolot!!! Lagian cuma mimpi beliin Si Bungsu helm... Tidak usah berlebihan." 
Mas ku yang sedari tadi diam tertawa. Ibu pun menyusulnya, membuat isi ruangan yang cukup luas ini terasa sempit untukku. Sesekali Mas Indra membisikkan sesuatu ke telinga Ibu, Ibu melirikku dan keduanya tertawa. Kesal melihat pemandangan aneh di depanku ini, aku langsung beranjak dari tempatku dan masuk ke kamar.

Ku dengar tawa yang membahana dari balik pintu kamar. Ibu dan Mas Indra. Mereka tidak mengerti, tidak tahu betapa mimpi itu nyata. Ini bukan mimpi mendapat lotre milyaran rupiah atau hujan uang. Tapi tentang adikku yang paling kecil, anak Ibu dari laki-laki yang tak pernah bisa aku menyebutnya Ayah. Ya, gadis kecil itu saudara tiriku.

Wajah ayu Si Bungsu yang selalu ceria itu begitu keruh, dia datang padaku (dalam mimpi), merengek minta dibelikan helm. Aneh. Aku yang tergolong pelit ini, menuruti keinginannya. Padahal setiap harinya sampai ia nangispun ketika ingin dibelikan es krim aku tak pernah membelikannya. Tapi malam itu kami begitu akrab...

"Ah... Itu cuma mimpi," bisikku mencoba menenangkan diri. Menetralisir setiap pikiran kotor yang melintas diotakku.

Hari ini aku lebih banyak menghabiskan waktuku sendiri di kamar. Lebih baik begitu daripada di luar hanya jadi bahan lelucon Ibu dan Mas Indra. Sesekali aku mendengar tangis Si Bungsu. Minta dijajanin atau mewek tidak mau mandi. Dia masih duduk di bangku SD kelas 1, umurnya baru 6 tahun. Angka yang kebanyakan orang bilang, bocah umur segitu lagi lucu-lucunya. Tapi tidak menurutku. Dia cengeng, manja.... Aahhh... Itu semua karena dia bukan saudara kandungku. Seandainya dia sedarah, aku yakin, aku tak pernah merasa sejahat ini.

Ku baringkan tubuhku yang terasa makin berisi ini di atas pembaringan. Mataku menerawang, memandangi langit-langit yang warnanya mulai memudar. Aku beranjak ketika ku dengar deru motor. Suami Ibu...

Ku amati setiap sudut kamarku. Fotoku, Mas Indra, Ibu dan Alm. Ayah selalu menjadi pusat perhatianku. Ayah seolah tersenyum padaku saat ku amati dalam-dalam foto berukuran jumbo di dinding kamarku itu. Beliau bahagia disana... Ketika hendak ku bersihkan figura itu, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu.


"Mbak Nana... " seseorang memanggilku dari balik pintu. Suara yang tidak asing bagiku.
"Tidak kapok dia datang ke kamarku," umpatku setelah tahu orang itu adalah Si Bungsu.

Ku bukakan pintu dan gadis kecil itu tersenyum. Manis sekali... Ku balas senyumnya dan kali ini senyumku tulus, tidak dibuat-buat seperti biasanya. Mungkin ini efek dari mimpi-mimpi ku itu.  Dia mengikuti kemana aku melangkah, menyentuh apa-apa yang ia lihat di meja belajarku dan menanyakannya.

"Mbak Nana... mbak Nana... besok Mini mau ke tempat Eyang," ceritanya sambil ngelus-elus rambutku.
"Ngapain?" tanyaku mersponnya, sedikit beramah tamah dengan anak Ibu yang satu ini.
"Mini mau kasih lihat motor baru Mini ke Eyang."
"Oh iya, motor ayah Mini kan baru ya... Mbak Nana diajak nggak?" tanyaku sambil mengusap sisa coklat di bibirnya. Dia menggeleng...

Malam itu kami ngobrol lama sekali. Ibu yang sore tadi mencari Mini hanya tersenyum ketika melihatnya sudah lelap di kamarku. Aku menolak ketika Ibu hendak memindahkan Mini ke kamarnya.
"Biarkan Mini tidur di kamar Nana malam ini bu..., " pintaku.
"Tapi Na... "
"Dia aman bersamaku." Aku meyakinkan Ibu, aku sungguh-sungguh. Ku lihat Ibu sedikit sanksi padaku. Mungkin beliau juga heran, merasa aneh dengan tingkahku hari ini.

***

Dan sekali lagi... Mimpi itu bangunkan aku dari tidurku. Aku gelagapan, Mini yang semalam tidur bersamaku sudah tidak ada di sampingku. Pintu kamar sudah terbuka. Aku bergegas keluar, mencarinya. Ku dapati ia sedang makan bubur ayam kesukaannya di depan televisi bersama ayahnya.
"Mbak Nana sudah bangun?" tanya Om Danu, suami Ibu basa-basi seperti sedang mengajari anaknya. Aku tak menyahut dan segera menuju dapur berharap menemukan Ibu di sana.
"Cari siapa Na? Ibu di kamar," teriak Om Danu.

Ibu muncul dari balik pintu kamar sebelum aku sempat mengetuknya.
"Kenapa Na?" tanya Ibu tanpa melihatku. Ia kelihatan repot dengan baju-baju kotor di tangannya.
"Ibu hari ini mau ke tempat Eyang nya Mini?" tanyaku. Ibu tersenyum, kemudian mengangguk.
"Mau ikut kamu?" Om Danu yang bertanya kali ini.
Aku menggeleng. Pergi ke rumah orang tua Om Danu? Oohh... Aku belum pernah membayangkan sebelumnya. Aku sama sekali tidak tertarik, "Bukan begitu."
"Lalu?"
"Hari ini Nana mau ajak Mini jalan-jalan sama Mas Indra," jawabku asal.
"Mas mu sudah pergi sejak 10 menit yang lalu."

Aku gugup, mencari-cari alasan untuk menahan mereka. Tidak ada yang boleh pergi hari ini, semua harus di rumah. Terlebih Mini. Dia tak boleh jauh-jauh dariku.
"Biarkan Mini tetap di rumah bersamaku." Persis seperti pengemis yang memohon uang receh. Aku tak peduli. Yang ada di benakku saat ini hanya soal mimpi-mimpi burukku itu.
"Kamu mimpi lagi?" tanya Ibu. Aku tak menjawab.

Ibu kembali sibuk mengemasi baju-baju Mini. Memasukkannya ke dalam tas warna cokelat yang ku belikan ketika aku berlibur ke Bali setahun yang lalu. Dan aku masih berdiri di sampingnya melakukan negosiasi. Berharap Ibu membatalkan perjalannya hari ini, kalaupun tetap kesana, paling tidak hanya Ibu dan Om Danu, Mini tetap di rumah bersamaku.

Tanpa menanggapi ocehanku, Ibu segera beranjak keluar rumah. Om Danu dan Mini sudah siap untuk berangkat, tinggal menunggu Ibu. Aku pandangi Mini yang sedang asyik memencet klakson motor Om Danu. Dia mengenakan sepatu pink, gaun terusan warna putih yang terbalut jaket hitam.

"Mini... Mini di rumah saja sama Mbak Nana, nanti kita jalan-jalan. Mbak Nana janji belikan apapun yang Nana mau. Ya, mau ya?" bujukku pada Mini, berulang-ulang tapi tidak berhasil.
"Sudahlah... Jangan dipaksa, sudah lama juga Mini tidak berkunjung ke rumah Eyangnya," kata Ibu sambil memakai helm ink punyaku.

Astagaaa...
"Mini tidak memakai helm bu?" Lagi-lagi alasanku adalah mimpi itu...
"Dia masih kecil, nanti biar di tengah sama Ibunya," jawab Om Danu sambil menstarter motornya.
"Ini bukan masalah kecil atau dewasa, tapi menyangkut jiwa, keselamatan," suaraku serasa naik 2 oktaf ketika mengucapkan kalimat itu. Ibu tercengang. Meski aku tidak begitu menyukai Om Danu, tapi aku belum pernah berbicara dengan nada tinggi apalagi terdengar seperti membantah.

Om Danu menoleh ke arahku yang pelan-pelan menunduk, menyadari salah caraku menyampaikan maksud baikku. Dan tanpa sempat ku tahan, motor Om Danu perlahan meninggalkanku. Keras kepala! umpatku. Bodoh! aku tidak berhasil mencegahnya. Perasaanku benar-benar tidak enak. Ku tutup pintu rumah dan bergegas mencari Mas Indra. Biasanya dia ke rumah temannya terlebih dahulu sebelum berangkat kerja.

Aku berlari mengejar waktu, berharap Mas Indra masih di rumah Mas Agus. Beruntung, sesampai di disana, motor Mas Indra masih terparkir di halaman rumah kecil berbilik bambu itu.
"Mas Indra.... Mas... Mas Indra... " teriakku memanggil nama Mas Indra tanpa sempat ku ucapkan salam atau sekedar mengetuk pintu.
"Kenapa Na?" tanya Mas Indra dan Mas Agus hampir berbarengan.
"Kita susul Ibu dan Mini sekarang."
"Untuk apa?" tanya Mas Indra masih bingung.

Ku seret tangan Mas Indra dan ku sambar helm Mas Agus di meja. Mas Indra hanya menurutiku.
"Benar-benar sudah gila kamu!" katanya tepat di telingaku.
"Kita sedang ingin menyelamatkan nyawa seseorang."
"Nyawa siapa?"
"Si Bungsu," jawabku sambil terus melaju. Mas Indra menepuk bahuku.
"Sinting kamu Na!!!"

Aku rem mendadak motor yang ku kemudikan. Mas Indra sontak kaget dan ku dengar dia menggerutu. Kira-kira 15 meter dari tempatku berdiri, aku melihat kerumunan orang di tengah jalan. Keringat dingin, gemetar. Aku hanya berharap itu bukan mimpi burukku. Pelan-pelan aku mendekat dan ku tanyai laki-laki yang baru saja berhasil keluar dari kerumunan itu.

"Ada apa Mas?" tanyaku pada laki-laki barusan.
"Kecelakaan Mbak."
"Ada korban?" tanya Mas Indra yang berada di sebelahku.
"Ada. Parah Mas. Saya aja ngeri melihatnya," jawab laki-laki itu memberi sedikit keterangan kemudian berlalu.

Mas Indra yang penasaran mencoba menerobos diantara kerumunan. Sementara aku hanya diam di tempat. Tak lama kemudian Mas Indra kembali, diseretnya kedua tanganku.

Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang sedang aku lihat. Pemandangan yang tidak ingin dan tidak seharusnya aku lihat. Darah segar mengalir, mewarnai aspal. Ada yang berceceran di sekitar sosok yang sudah ditutup beberapa lembar koran. Mungkin isi kepala si korban yang sedang dipunguti polisi yang sudah berada di tempat.

"Anak itu mati. Kepalanya hancur beradu dengan roda mobil truk itu," beri tahu seseorang kepada temannya yang baru datang barang kali. Aku ingin mendekat, ingin memastikan tubuh mungil dibalik koran itu. Tapi petugas melarangku. Tubuh kekar Mas Indra yang berusaha mendekat pun tidak mampu melawan beberapa petugas yang berjaga-jaga.

Ku perhatikan satu per satu, barang kali ada sesuatu yang mungkin bisa menjadi jawaban. Dan sepasang bola mataku menangkap sesosok perempuan berkulit putih menangis di sebelah mobil polisi. Tak lama kemudian perempuan itu tak sadarkan diri. Ibu... Dan tubuh tak bernyawa di jalan itu... Mini...

Aku menjerit, menangis sejadi-jadinya... Ku persalahkan mereka yang menghalangiku, Ibu dan Om Danu. Juga Mas Indra yang tak pernah mendengarkan aku. Sekarang mereka mengerti kenapa... Bisa apa mereka sekarang? Menangis sampai kota ini menjadi lautan pun tak akan bisa kembalikan apa yang baru saja terjadi. Jangankan nyawanya, setetes darahnya pun tak kan bisa kembali ke raganya yang sudah tak bernyawa....

---------------------------------------------------------------------------
Ketika kita bicara soal hidup dan kehidupan di sekitar kita, tanpa kita sadari, terkadang ada hal-hal kecil yang menurut kita sepele justru itu adalah boomerang. Ketika kita bicara soal diri kita sebagai manusia, apapun, ketika sudah mengenai takdir kita pun tak bisa menyalahkan siapa-siapa yang menurut kita salah...
Jangan pernah menyepelekan hal-hal kecil, jangan pula meremehkan omongan orang 'kecil'... Pertimbangkan setiap masukan orang lain, jangan sampai mereka ini menertawakan atau mencibir kita pada akhirnya....

Tidak ada komentar: